SOMEDAY, SOMEWHERE, SOMEHOW (INDONESIAN SHORT STORY)

Aku yakin dan percaya bahwa segala sesuatunya akan terjadi pada saatnya.
            Aku masih dapat melihat bulan sabit di angkasa, walau sebentar lagi ia akan hilang, entah kemana ia hendak pergi dan digantikan oleh sang mentari. Jam menunjukkan pukul lima lewat empat puluh lima. Sudah saatnya aku bangkit dan bersiap untuk menghadapi hari baru yang telah diberikanNya padaku. Hari Senin kedua di bulan Juli. Hari di mana aku duduk di bangku kelas dua belas. Waktu berlalu begitu cepat hingga aku sampai tak sadar bahwa sebentar lagi aku harus lepas dari dunia sekolah.
            Seperti biasa, aku datang ke sekolah dengan bus umum. Setelah sampai di sekolah aku langsung berjalan menuju kelas baruku, yaitu 12 MIPA 4, dan meletakkan tasku di meja yang telah aku pilih sesuka hati. Saat itu, Kristi, teman dekatku di kelas belum datang, sehingga aku hanya diam duduk di tempatlu, menundukkan kepalaku dan berusaha untuk tidur lagi hingga tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang mengelitiki lenganku. Aku tak suka dikelitiku. Berhubung dengan kejadian tadi, aku dengan refleks menyiku orang tersebut.
            “Ouch! Selow dong!” ucap orang yang kuduga terkena sikuku.
            “Ya siapa suruh lo kelitikin gue?” balasku ketus tak peduli. Karena batinku penasaran, aku melihat siapakah orang itu dan ternyata dia adalah Jonathan, ketua tim basket sekolahku.
            “Apaan sih orang cuman kelitikin doang. Lebay amat sih lo!” kata Jonathan ketus.
            “Lo yang lebay! Kenapa? Kesakitan cuma karna siku? Bukannya lo cowo perkasa? Mana buktinya?!” balasku tak kalah ketus.
            Akhirnya, Jonathan pun mengalah, “Iya, Esther, okay maaf ya gue isengin lo.” Aku tak memberi jawaban apapun dan ia langsung duduk di tempatnya.
            Ketika pulang sekolah, aku berjalan ke pintu belakang sekolah dan saat itu aku melihat Jonathan yang sedang mengambil barang-barangnya dari dalam mobilnya. Aku melihat ada luka memar pada lengannya, yang kuduga adalah akibat tersenggol sikuku. Akupun merasa bersalah. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghampirinya.
            “Kenapa?” tanya Jonathan amat datar, “Mau tambahin luka memar gue?”
            “Hmm kalo lo mikir gue kesini buat kayak gitu sih silakan. Tapi tujuan gue sebenernya buat minta maaf” ucapku meluruskan niatku.
            “Hah?! Seorang Esther bisa minta maaf duluan? Wow!” responnya sinis.
            “Gue serius” tegasku penuh kejujuran.
            “Iya nggak apa. Gue maafin tapi ada syaratnya” ucap Jonathan dan kalimat terakhir yang ia lontarkan membuatku tercengang sampai-sampai aku tak mengucapkan apa-apa.
            “Jadi karena beberapa bulan kedepan gue bakal sibuk ikut lomba basket, lo harus bersedia ajarin gue semua materi yang gue ketinggalan” Jelasnya. Tingkahnya seperti bos!
            “Emang ada untungnya buat gue?” tanyaku menantang dan Jonathan tak menjawab. Tak lama setelah itu, akupun mengangguk setuju, “Oke kalau emang menurut lo itu setimpal sama ketidaksengajaan gue.
            “Deal?”
            “Deal.” Dan dengan itu aku langsung berjalan meninggalkan sekolah.
            Hari-hari berikutnya, aku datang ke sekolah seperti biasanya. Entah mengapa, hari ini aku merasa sangat pusing dan lemas. Aku hampir tak pernah mengalami sakit kepala, apalagi yang sehebat sekarang ini. Ayah dan ibuku menyarankanku untuk beristirahat dirumah, namun aku bersikeras membantah mereka karena aku amat peduli dengan nilai dan prestasiku di sekolah.
            Ketika jam istirahat tiba, aku dan Kristi menyantap makan siang kami di kantin. Kami membeli makanan dan minuman dan membicarakan hal-hal apa saja seperti biasanya. Kemudian aku juga menceritakan tentang persetujuanku dengan Jonathan dan awal mula mengapa ada persetujuan tersebut. Mendengar ceritaku, Kristi pun syok namun ia akhirnya berkesimpulan bahwa Jonathan memintaku untuk mengajarinya karena menurutnya aku adalah salah satu murid yang cukup pintar sehingga ia mempercayaiku.
            Seusai menyantap makan siang, kami kembali ke kelas dan ketika aku hendak duduk, aku mendapati sepucuk surat di kursiku.
‘Hari ini gue ijin tanding basket, kalo ada materi baru, ajarin gue besok jam 5 di kantin sekolah. Thx.  –J’
            Mengapa dia yang mejadi bosnya? Mengapa ia seenaknya menetapkann waktu, padahal yang akan mengajarinya kan aku?
            Aku menghela nafas. Itu artinya aku harus mengajarinya fisika dan biologi. Berhubung besok juga ada ekstrakulikuler fotografi hingga pukul lima sore. Jadi setelah kegiatan ekskur aku bisa langsung mengajarinya.
            Pada harinya, aku menunggu jonathan di kantin tepat jam lima sore. Beberapa menit telah berlalu dan ia belum kunjung tiba. Aku ingin menanyakan keberadaannya namun aku baru sadar kalau aku tidak memiliki kontaknya sehingga aku terpaksa menunggu dan akhirnya setelah menunggu selama dua jam empat menit, ia pun baru memasuki lorong kantin dan ketika ia hendak duduk diseberangku, aku langsung memarahinya.
            “Lo kemana sih? Gue udah nunggu lo kira-kira dua jam disini, ditemenin nyamuk-nyamuk kantin pula! Lo kira enak? Ini udah malem tau ga sih?!” celotehku tanpa ada jeda.
            “Ngocehnya udah?” tanya Jonathan santai. Entah mengapa ia selalu bisa tenang dan santai. “Nih ya, jadi tuh tadi gue harus ikut dua cup sekaligus dan tadinya udah berniat ngabarin lo tapi gue baru inget kalo gue gak punya kontak lo. Jadi gue cuma bisa berdoa dan berharap supaya lo masih berbaik hati nungguin gue.” Dan setelah ia selesai berbicara, ia menyodorkan sebungkus roti coklat dan aku langsung merebut dari tangannya. Entah bagaimana ia bisa tahu kalau aku suka roti coklat.
            “Makasih” responku singkat dan langsung memakan roti coklat yang sudah berada ditanganku sambil membuka buku dan mulai mengajar.
            Awalnya, aku menyangka bahwa mengajar seorang kapten tim basket SMA Harapan Jaya akan membosankan. Ternyata aku salah besar. Aku benar-benar menikmati waktuku untuk belajar bersama dengan Jonathan hingga akhirnya pukul sembilan malam akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Kamipun membereskan buku-buku yang berserakan di meja kantin dan setelah selesai, kamipun meninggalkan kantin.
            Tiba-tiba, aku merasa pusing dan pandanganku buyar kembali. Semuanya gelap. Aku hampir terjatuh hingga tiba-tiba aku merasakan ada dua tangan yang menopang tubuhku yang amat lemas. Entah mengapa, rasanya begitu hangat dan nyaman.
            “Lo kenapa?” tanya Jonathan sambil membantuku berdiri.
            “Ga kok ga kenapa-napa, cuman lemes aja” jawabku, “Gue harus ke halte sekarang.”
            “Apaan sih, gak usah lah, biar gue yang anterin” dan dengan itu aku melongo dan mengikuti kemana Jonathan berjalan dan ternyata kami berjalan menuju ke tempat parkir. Kamipun mennaiki mobil silver milik Jonathan, kemudian aku menuliskan alamatku pada aplikasi google maps milik Jonathan dan setelah itu aku sudah tak sadarkan diri.
            Aku membuka kedua mataku ketika kami sudah berada di pintu gerbang rumahku.
            “Masih pusing?” tanya Jonathan dengan nada tenang dan santainya, yang membuatku merasa aman. Namun sudahlah, aku tak boleh berekspektasi lebih. Aku juga hanya mengangguk, mengiayakan pertanyaannya. Akupun mencoba untuk membuka pintu mobilnya.
            “Sabar kali kalo mau turun...” ucap Jonathan yang tiba-tiba membuka pintu pengemudi dan setelah ia keluar, ia membukakan pintu untukku. Aku hanya terdiam kemudian menapakkan kakiku di tanah. Jonathan pun membantuku berjalan sampai ke depan pintu utama.
            “Istirahat yang banyak ya, jangan lupa minum obat” ucap Jonathan menasehati.
            “Okay,” balasku, “Thanks udah nganterin gue pulang.”
            Jonathan tidak mengucapkan sepatah katapun, namun ia memandangiku yang membuat aku merasa aneh, sehingga sesekali aku mengalihkan pandanganku.
            Aku memecahkan keheningan diantara kami, “Gue masuk dulu ya. Sekali lagi, thank you.”
            “You’re welcome! Get well soon ya!” balas Jonathan dan aku langsung bergegas ke kamarku dan membayangkan kejadian tadi. Rasanya aku tak ingin waktu bersamanya cepat berlalu. Rasanya ingin memutar kembali waktu-waktu tak terlupakan bersama dengannya. Sudahlah, Esther! Tak mungkin kau akan bersamanya.
            Satu hari, satu minggu, satu bulan pun telah berlalu. Hampir setiap hari aku mengajarkan Jonathan pelajaran-pelajaran di sekolah. Kadang kami belajar di kelas, kantin, taman, atau kalau hari libur ia datang kerumahku, sehingga kedua orangtuaku sudah mengenalnya.
            Hari ini adalah hari Jumat dan aku berhalangan untuk hadir ke sekolah karena penyakit rutinku, yaitu sakit kepala dan muntah-muntah kambuh lagi. Ini membuatku stress karena membuatku tak bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Aku mengabari Jonathan kalau hari ini aku tidak bisa datang ke sekolah karena sakit. Iapun bersedia untuk datang kerumahku dan mengajariku materi yang diajarkan selama aku sakit. Jonathan berjanji padaku ia akan datang tepat sepulang sekolah sehingga akupun menunggunya datang.
            Satu jam, dua jam, tiga jam lamanya aku menunggu dan ia pun tak kunjung tiba. Aku mencoba menghubunginya berkali-kali namun tak ada jawaban. Padahal sejujurnya aku sudah mengantuk dan kepalaku semakin sakit. Akupun memutuskan untuk memejamkan kedua mataku dan tiba-tiba ibuku memberitahukan bahwa Jonathan sudah sampai. Aku menyuruhnya untuk langsung naik ke ruag atas karena aku sedang berada disana.
            Sesampainya Jonathan di ruang atas, aku sama sekali tak ingin melihatnya. Aku kesal padanya. Jonathan berkali-kali mengajakku berbicara namun aku mengabaikannya.
            “Gue minta maaf, Ther” ucap Jonathan terus menerus.
            “Kalo ga niat mending gak suah dateng” responku amat ketus.
            Jonathan mulai pasrah menghadapiku, “Gue udah jelasin ke lo alesannya.. Tadi emang ada latihan basket dadakan dan tadi handphone gue lowbatt.. Jangan marah lagi..”
            “Pulang aja sana! Gue males ketemu lo! Lo tau gue sakit. Gara-gara lo, gue gak bisa istirahat tau ga! Udah ah, gue males sama orang yang gak bisa nepatin janjinya!” setelah mengucapkan kata-kata tadi, aku langsung bergegas masuk ke kamarku dan Jonathan tidak berhasil mengejarku karena aku telah mengunci pintu kamarku. Selama sepuluh menit, ia terus menggedor-gedor pintu kamarku, berharap aku akan membukakan pintu untuknya.
            Uniknya, ia menulis surat dan memberikan padaku lewat bawah pintu kamarku.
            ‘Gue bener-bener minta maaf, Esther. Gue tau gue buat lo ga bisa istirahat. Maaf karna gue gak ada usaha sama sekali buat ngabarin lo. Lain kali, gue bakal belajar buat menuhin janji gue. Kasih gue kesempatan. Maafin gue.’ Setelah membaca surat tersebut, aku langsung terlelap.
            Hari Senin, aku masuk ke sekolah seperti biasa. Hari ini ada pengambilan nilai lay up. Aku cukup percaya diri, namun kondisiku membuatku tak yakin. Namun, bagaimanapun aku harus tetap berusaha. Semua ini demi nilaiku.
            Tibalah giliranku untuk mempraktekan lay up. Aku mulai mendribble bola yang ada di tanganku dan tak lama kemudian aku mulai melakukan lay up dan bola yang kulempar ternyata masuk ke dalam ring, sehingga para teman-temanku di kelas memberikan tepuk tangan dan menyorakiku. Namun, suara-suara terseut malah membuatku pusing dan pandanganku pun buyar.
            Aku berusaha membuka mataku dan ternyata aku sedang berada di UKS dan sedang berbaaring, entah bagaimana dan mengapa aku berada disini. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang membuka pintu UKS dan membawa secangkir teh. Jonathan. Mengapa dia lagi sih?
            “Kenapa gue disini?” tanyaku.
            “Habis lo lay up, lo pingsan. Jadi gue bawa lo kemari” jelas Jonathan dengan nada rendah dan datar.
            “Oh oke,” jawabku cuek, “Makasih-“
            “Mau sampe kapan lo marah sama gue?” ucap Jonathan yang mulai serius. “Please kasih gue kesempatan lagi.  Gue sadar gue salah. Tapi kalo lo berpikir kayak gitu terus, semua orang yang salah gak akan punya kesempatan buat jadi bener.”
            Ucapan Jonathan membuatku diam dan tersudut. Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan sampai-sampai ia berkata demikian. Suasana pun menjadi hening.
            “Please, maafin gue. Gue gak tenang kalo gini terus” ucap Jonathan dengan pasrah.
            “Iya gue maafin. Asal lo tau aja, gue gak suka sama orang yang ga tepat waktu. Lo udah dua kali lakuin hal yang sama dua kali! Dan gue ga suka” dan keheningan timbul diantara kami.
            “Jadi, apa kita bisa kayak biasanya lagi?” tanya Jonathan memecah keheningan. Aku tak menjawab dan hanya menganngukkan kepalaku dan munculah sebuah senyuman dari Jonathan yang telah lama hilang. Disaat itu juga aku sadar kalau aku memang menyayanginya.
            Ketika jam pulang sekolah, ibuku yang menjemputku karena ia terus memaksaku untuk melakukan check up di rumah sakit. Berkali-kali sudah aku yakinkan kalau aku baik-baik saja namun ia tetap bersikeras mengajakku untuk melakukan pemeriksaan. Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Ibuku yang mengurus segala keperluannya, sedangkan aku sibuk chatting dengan Jonathan yang menanyakan kabarku. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya tibalah giliranku untuk berjumpa dengan sang dokter. Ibuku sedikit berbincang-bincang dengan dokter mengenai diriku, dan setelah itu barulah ia memulai pemeriksaan. Anehnya, sang dokter melakukan pemeriksaan sangat lama. Namun sudahlah, mungkin memang tahapan pemeriksaannya panjang.
            Setelah selesai pemeriksaan, aku dan ibuku duduk di bangku tamu dan sang dokter berada tepat dihadapan kami. Raut wajahnya kurang mengenakkan entah mengapa.
            “Esther, apa saja gejala yang kamu dapatkan selama ini?” tanya sang dokter padaku.
            “Pusing, muntah-muntah. Kebanyakan sih pusing sampai kadang pingsan” jawabku seadanya.
            “Sebenarnya ini bukan kabar baik. Esther, kamu terdiagnosa mengalami kanker otak stadium tiga. Semua gejala yang kamu alami itu persis dengan penderita kanker otak lainnya. Sudah tidak ada lagi obat yang bisa menyembuhkan kamu” jelas sang dokter dengan pasrah. Suasanapun menjadi hening. Perasaanku hancur. Semua yang kuimpikan harus sirna begitu saja. Keinginanku untuk menjadi seorang dokter luput sudah.
            “Apakah selain dengan obat, ada cara lain agar bisa sembuh?” tanya ibuku yang benar-benar pasrah dan kaget, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dan sang dokter menggelengkan kepalanya. Tentu itu membuatku dan ibuku semakin sedih. Setelah beberapa lama terjadi keheningan di ruang dokter, akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada sang dokter, kemudian segera mengurus biaya administrasi rumah sakit dan kemudian bergegas pulang. Sepanjang perjalanan, aku dan ibuku tak mengucap sepatah katapun karena kami saling mengerti perasaan masing-masing. Tentu akan sangat berat baginya ketika harus kehilangan anak semata wayangnya.
            Hari-hariku berlalu begitu saja. Tak pernah kuhiraukan tentang penyakit yang kualami. Memang keadaanku semakin memburuk, namun aku tidak peduli. Aku juga tidak menceritakan masalah penyakitku pada Kristi maupun Jonathan. Hari ini adalah hari pertama ujian nasional. Bahasa Indonesia dan Biologi. Selama beberapa bulan terakhir, aku sudah mempersiapkan dengan matang karena aku masih pada pendirianku, yaitu lulus dengan nilai tertinggi di sekolah.
            Setelah UN hari pertama usai, aku bertemu dengan Jonathan. Ia mengajakku untuk belajar bersama dirumahku. Akupun ikut dengannya agar sampai dirumahku. Setelah sampai, kami langsung mengeluarkan buku dan mempelajarinya. Ada satu materi yang masih kurang kukuasai sehingga aku meminta Jonathan mengajariku. Ketika ia sedang menjelaskan, tiba-tiba saja kepalaku terasa berat. Entah mengapa harus kambuh lagi. Jonathan yang menyadari kalau aku sedang tidak sehatpun membantuku berbaring di sofa.
            “Lo sebenernya sakit apa sih? Kenapa selalu begini?” tanya Jonathan cemas.
            “Gak kok ga sakit apa-apa” jawabku berbohong, tidak mau membuatnya kepikiran.
            “Please, kasih tau gue. Gue bener-bener bingung” ucap Jonathan memohon dan taanpa kusadari aku telah meneteskan air mata. Dengan segera aku langsung menutup wajahku dengan kedua tanganku, karena aku tidak mau Jonathan melihatku menangis. Namun tetap saja, ia memaksaku untuk tidak menutupi wajahku.
            “Gue ada salah ngomong ya? Maafin gue, Ther. Gue bener-bener minta maaf” kata Jonathan dengan sedih, dan aku hanya bisa mengangguk.
            “Yaudah deh, kalo lo udah sembuh, habis selesai UN terakhir ayo kita jalan” ajaknya, yang sudah pasti sangat ampuh membuatku senang. Akupun menyetujuinya. Setelah itu, kami melanjutkan belajar kami.
            Tibalah hari terakhir Ujian Nasional. Aku bukan tak sabar supaya ujian berakhir, namun aku tak sabar ingin jalan dengan Jonathan. Setelah bel tanda waktu mengerjakan soal sudah habis berbunyi, aku langsung turun ke bawah dan ternyata Jonathan sudah berada disana. Ternyata ia akan mengajakku ke Dufan. Aku sudah tak tahu lagi betapa bahagianya aku.
            Sesampainya di Dufan, aku dan Jonathan membeli tiket masuk. Setelah berada di dalam, wahana pertama yang kami naiki adalah menunggang kuda. Walau kami sudah delapan belas tahun, kami sama sekali tidak merasa malu. Wahana lainnya yang kami nikmati ada;ah halilintar, bianglala, arung jeram, kora-kora, dan masih banyak wahana seru lainnya.
            Wahana terakhir yang kami nikmati sebelum pulang adalah Istana Boneka. Saat itu, Istana Boneka sudah agak sepi karena sudah hampir jam lima.
            “Sebenernya gue mau ngasih tau lo sesuatu” ucap Jonathan tiba-tiba dengan nada yang serius. Aku tak memberi jawaban, menunggunya untuk melanjutkan kataa-katanya.
            Jonathan mengambil nafas dalam-dalam, “Sebenernya gue sayang banget sama lo, dan gue tau kalo lo juga rasain itu. Bukan karna pede, tapi itu udah jelas. Maka dari itu, lo mau ga jadi pacar gue?”
            Kaget, bahagia, sedih, semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Aku bahagia ketika tahu bahwa Jonathan punya rasa yang sama sepertiku. Namun aku sedih ketika aku teringat akan waktuku yang semakin lama semakin singkat. Seandainya Tuhan memberiku umur lebih panjang, aku ingin menerimanya.
            “Memang, gue emang sayang banget sama lo. Tapi maaf gue gak bisa.”
            “Hah? Kenapa...” respon Jonathan dengan nada sedih yang membuatku jauh lebih sedih.
            Aku berusaha untuk menahan air mataku, “Karna kalo lo jadian sama gue, lo ga akan bahagia. Gue gak bisa buat lo bahagia, Jo. Percayalah, di luar sana masih banyak cewe yang lebih pantes buat lo bahagia.”
            “Gak! Gue yakin banget, lo adalah orangnya!”
            “Maafin gue, Jo. Tapi gue bener-bener gak bisa” Jelasku sekali lagi yang membuat perasaanku semakin hancur.
Jonathan pun akhirnya pasrah, “Yaudah kalo emang ini keputusan lo. Tapi ketahuilah kalo gue bener-bener sayang sama lo.”
Aku menatap Jonathan dalam diam. Tak terasa kami sudah tiba di luar istana boneka. Kami segera turun dari perahu dan berjalan keluar dari Dufan dan Jonathan pun mengantarku pulang. Rasanya ingin menangis, namun aku tak bisa. Aku telah melukai hati seseorang yang benar-benar kusayangi. Tapi aku sadar, kalau aku menerima dia, maka aku jauh lebih membuatnya sakit hati.
Semakin hari, aku semakin melemah. Aku semakin sakit. Rasanya sungguh menyedihkan. Aku terus berdoa kepada Tuhan agar Ia memberiku kekuatan. Aku juga berdoa untuk Jonathan, aku berharap ia mendapatkan yang terbaik.
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Karena bersemangat, hari ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Aku menggunakan kebaya ungu, warna yang paling kusukai. Rasanya bangga karena sebentar lagi aku akan lulus dari dunia sekolah. Setelah bersiap-siap, aku menghampiri kedua orangtuaku yang sudah menungguku di ruang makan untuk sarapan bersama. Setelah kami selesai makan, kami langsung menuju ke sekolah. Kedua orangtuaku duduk di bangku depan mobil, sedangkan aku di belakang sambil chatting dengan Jonathan seperti biasa. Namun tiba-tiba, rasa sakit yang sudah biasa kualami kembali kambuh. Karena tak kuat, akhirnya aku tak sadarkan diri.
Ketika aku bangun, aku berada di rumah sakit. Anehnya, aku tidak sedang berada di dalam tubuhku sendiri. Aku dapat melihat tubuhku sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
“Putri ibu mengalami koma,” kata dokter yang baru saja memeriksaku. “Keadaannya semakin buruk.”
Aku syok dan sedih mendengar ucapan dokter itu. Seharusnya hari ini aku bisa datang ke acara kelulusanku, namun karena aku terjebak dalam koma, aku melewatkan momen yang telah lama kutunggu. Aku punya ide untuk datang ke acara kelulusanku, setidaknya aku ingin menyaksikannya. Namun aku sendiri tidak tahu dimana aku berada.
Tiba-tiba, aku mendengar suara familiar yang semakin lama semakin jelas. Jonathan. Ia terlihat sangat sedih. Matanya sembab seperti habis menangis. Ia memeluk kedua orangtuaku, dan rasanya benar-benar terharu.
“Om, Tante, Esther lulus UN dengan nilai tertinggi di sekolah” ucap Jonathan dengan memaksakan sebuah senyuman.
“Puji Tuhan” ucap ayahku, “Itu adalah apa yang selama ini ia impikan.”
“Apa saya boleh bertemu dengan Esther?” tanya Jonathan dengan amat sopan. Kedua orang tuaku hanya mengannguk.
Jonathan pun masuk ke kamar rawat tempat aku berbaring. Melihat wajahnya yang sedih dan lelah membuatku semakin hancur. Aku benar-benar ingin memeluknya, meyakinkannya kalau semua akan baik-baik saja.
“Esther.. Please bangun... Gue kangen sama lo, gue kangen waktu di mana kita bisa ketawa bisa bercanda bareng. Gue udah tau alesan lo nolak gue. Gue sekarang ngerti. Kalau lo merasa itu buat gue gak bisa bahagia, lo salah besar! Gue selalu sayang sama lo gimanapun keadaannya. Gue gak peduli apapun keadaan lo, gue tetep sayang sama lo. Gue tau emang mungkin lo gak bisa sembuh, tapi setidaknya selama lo masih ada disini sama gue, gue pengen jadi alesan dibalik senyum dan tawa lo. By the way, lo lulus UN dengan nilai tertinggi di sekolah. Congratulations! Gue ikut seneng karna lo bisa capai mimpi lo itu. Semua orang sedih karna hari ini lo gak bisa dateng ke acara kelulusan kita. Oh ya, Kristi bakal nyusul kesini bentar lagi. Makanya please bangun, Ther. Kita semua butuh lo” ucap Jonathan dengan nada lemah lembutnya yang ternyata membuatku meneteskan air mata, walau aku sedang dalam keadaan koma.
“Waktu pertama kali lo nyiku tangan gue, inget gak? Jujur aja, sejak hari itu, gue jadi penasaran sama sifat lo yang judesnya ga ketolongan... Tujuan gue minta lo ngajarin gue bukan karna gue gak ngerti pelajarannya, tapi karna gue pengen mengenal lo lebih jauh, supaya gue gak cuma sekedar penasaran sama lo, supaya gue tau lo orangnya kayak gimana. Dan gue gak salah milih, lo emang baik banget orangnya dan gue suka itu. Pinter, cantik, kurang apalagi, Ther? Semua orang suka sama lo, tapi diantara semua orang lo pilih gue dan entah bagaimana gue merasa bangga sama diri gue sendiri. Gue sayang banget sama lo” tambah Jonathan lagi. Aku benar-benar ingin masuk kedalam tubuhku dan bangun dan memeluknya erat-erat, tidak ingin melepasnya.
Dan doaku terkabul. Aku berhasil masuk ke tubuhku, dan perlahan-lahan aku membuka mataku. Akhirnya aku bisa melihat Jonathan dengan jelas. Akhirnya aku bisa melihatnya tersenyum.
“Maafin gue, Jo. Gue sayang banget sama lo” ucapku, namun aku masih benar-benar lemas.
“Gue juga sayang banget sama lo. Apa lo denger semua ucapan gue tadi?” tanya Jonathan. Akupun mengangguk dan memaksakan untuk memberikan senyuman padanya. Rasanya benar-benar sedih. Jonathan pun langsung memelukku. Akupun memeluknya dengan erat. Rasanya benar-benar nyaman.
“Gue sayang sama lo, Jonathan” bisikku pada Jonathan dan setelah itu, aku sudah tidak lagi dalam tubuhku. Aku hilang.
“Esther?  Hey?” bisik Jonathan. Air mata mulai membasahi wajahnya. “Nggak nggak nggak lo harus bangun, Ther lo harus bangun!” ucapnya lagi mulai berteriak. Ia memanggil dokter untuk meminta pertolongan dan dokterpun segera datang. Orangtuaku juga masuk ke kamar inapku.
Seribu satu cara dilakukan oleh dokter untuk membantuku namun hasilnya tetap tak berubag. Aku sudah tiada. Rasanya sungguh menyedihkan karena sekarang aku hanya bisa menyaksikan, bukan ikut dalam cerita hidup mereka. Dokterpun pasrah. Orangtuaku menangis. Jonathan juga sama. Kristi yang baru sampai dirumah sakit juga kaget dan langsung meneteskan air mataku. Disini aku juga merasa sedih harus meninggalkan mereka. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuk mereka kedepannya, walau dalam kehidupan mereka berikutnya, peranku sudah tidak ada.
Tiga hari kemudian, upacara pemakamanpun diadakan. Aku hanya bisa melihat tubuhku yang terbaring lemah tidak bernyawa di dalam peti. Suasananya sedih. Jonathan dan teman-teman tim basketnya pun datang ke acara pemakamanku. Kedua orangtuaku menangis, sedangkan Jonathan diam membisu. Melihat mereka sedih membuat hatiku sesak. Dari sini aku hanya bisa mendoakan mereka.
Setelah acara pemakaman usai, semua orang mulai meninggalkan tempat aku dimakamkan kecuali Jonathan seorang. Ia tak mengucap sepatah katapun, hanya memandangi makamku. Aku sedih melihatnya sendirian. Aku sangat ingin menemaninya, memeluknya, dan menghiburnya. Namun aku sadar, kesedihan yang ia rasakan juga semua karenaku.
“Lo tau nggak,” ucap Jonathan yang akhirnya membuka mulutnya setelah sekian lama. “Lo buat gue benci sama yang namanya perpisahan. Jujur aja, gue belom siap. Gue masih perlu lo buat nemenin gue disini. Gue masih butuh lo buat ngehibur gue. Gue masih pengen diperhatiin lo. Baru hampir satu tahun kita saling kenal dan rasanya begitu cepat. Gue akan selalu inget sama lo, apapun yang gue lakuin. Gue pengen lo liat dari atas sana kalo gue bisa jadi yang terbaik, setidaknya buat lo.”
Akhirnya Jonathan meninggalkan makamku dan akupun sendiri lagi.
Satu minggu, dua bulan, tiga tahun berlalu. Hampir setiap hari Jonathan datang ke makamku untuk bercerita tentang apa yang ia alami. Aku merasa senang setiap kali ia datang dan bercerita. Setidaknya, aku masih merasa dipedulikan.
“Hai, Ther. Hari ini adalah tahun ketiga kuliah gue. Tau nggak, gue merasa gue bertemu sama seseorang yang mirip kayak lo. Tapi sayang, gue gak bisa baper. Karna, cuma lo yang bisa buat gue merasa sesayang ini sama seseorang. Gue gak akan pernah mencari seseorang buat gantiin posisi lo. Dan kalau gue berhasilpun, cuma lo doang yang milikin hati gue seutuhnya. Gue sayang banget sama lo. Gue selalu sayang banget sama lo, Esther” ucap Jonathan ketika ia datang lagi ke makamku.

Satu hal yang aku percaya, segala sesuatu akan terjadi pada waktunya. Kalau saat ini aku dan Jonathan belum berakhir bahagia, mungkin di dunia lain aku dan ia dapat menemukan kebahagiaan itu bersama. Suatu hari, entah dimana, dan entah bagaimana.

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Ceritanya bagus! Penulisan dialog dan narasi menjadi nilai plus dari cerpen ini. Coba untuk membuat beberapa detail konflik yang lebih dalam sehingga dapat lebih memikat hati pembaca. Keep it up and good luck!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

♡ABOUT MY SWEET SEVENTEEN♡

☀️BELITUNG - DAY THREE☀️

☀️BELITUNG - DAY TWO☀️